Monday, 21 September 2015

KEHENDAK KECIL, KEHENDAK BESAR

NGAJI HIKAM #6
Oleh : Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahirtahmanirrahim
Mari kita mulai ngaji Hikam malam ini dengan membaca Fatehah untuk Syekg Ibn Ataillah (qs), untuk ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai ngaji Hikam seri ke-6. Bismillah...
--------------------------------
KEHENDAK KECIL, KEHENDAK BESAR
Syekh Ibn Ataillah berkata:
لا يكُنْ تأَخُّر أمَدِ العَطَاءِ معَ الإلحَاحِ فى الدُّعَاءِ مُوجِبًا لِيَأْسِك . فهُو ضَمِن لكَ الإجَابَةَ فيْما يـخْتارُهُ لكَ ، لا فيْما تخْتارُهُ لِنفْسِك ، وَفِى الوَقْت الَّذى يُرِيدُ لا فى الوَقْتِ الَّذى تُرِيدُ .
La yakun ta’akh-khuru amadil ‘atha’i ma’a al-ilhahi fi al-du’ai mujiban li ya’sika, fahuwa damina laka al-ijabata fi-ma yakhtaru laka, la fi-ma takhtaru li-nafsika, wa fil-waqti al-ladzi yuridu la fil waqti al-ladzi turid.
Terjemahannya:
Janganlah terlambatnya “peparing gusti” atau pemberian Tuhan, sementara engkau sudah berdoa begitu lama, membuatmu putus asa. Sebab, Tuhan pasti mengabulkan permintaanmu dengan cara yang Dia pilih, bukan dengan cara yang engkau pilih. Dia akan mengabulkan permintaan itu pada waktu yang Dia kehendaki, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.
Ungkapan bijak Syekh Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian: awam dan khusus.
Pengertian awam. Bagian ini membahas situasi kejiwaan yang biasa mendera orang-orang beriman. Dalam keadaan yang ekstrim, situasi ini bahkan bisa membawa seseorang kepada agnostisisme, tak percaya pada Tuhan lagi. Ada dua situasi di sini: situasi yang sederhana; dan situasi yang akut.
Situasi yang sederhana seperti digambarkan oleh Ibn Ataillah di sini: Engkau berdoa, meminta, dan meminta, dan meminta, tetapi permintaanmu belum juga terwujud. Situasi ini lalu menimbulkan pertanyaan pada kita: Jika Tuhan Maha Mendengar, Maha Mengetahui, kenapa permintaanku tak didengar dan diketahuiNya?
Situasi yang lebih serius dihadapi oleh satu-dua komunitas orang-orang beriman yang menghadapi “kejahatan” yang ekstrim, seperti, misalnya, keadaan yang pernah dihadapi orang-orang Yahudi dalam kamp pembantaian Auschwitz. Pada saat jutaan orang-orang Yahudi menghadapi ancaman terminasi, genosida, penghancuran secara total, orang-orang Yahdi bisa bertanya: Di manakah Tuhan? Kenapa, pada momen itu, Tuhan tidak “turun tangan”?
Situasi yang kurang lebih sama kita jumpai di Aceh waktu terjadi Tsunami pada 2004 dulu. Hampir dua ratus ribu rakyat Aceh menjadi korban tsunami yang teramat dahsyat itu. Orang-orang, menghadapi pemandangan yang mengerikan itu, bisa juga bertanya: di manakah Tuhan? Kenapa Dia diam menghadapi “kekejaman alam” seperti ini?
Dan seterusnya.
Pertanyaan-pertanyaan dari pihak manusia seperti itu sah-sah saja. Dan Tuhan pun tak melarang kita mengajukannya. Tetapi, di sini, Ibn Ataillah mengajarkan suatu kebijaksanaan sebagai seorang beriman. Sikap yang diajarkan olehnya adalah sikap rendah hati. Kehidupan yang maha luas ini penuh dengan misteri yang belum seluruhnya dapat kita pahami.
Jika kita meminta Tuhan dan belum terkabul, kita mesti mengatakan kepada diri kita: Jangan-jangan Tuhan mengabulkan doaku dengan cara yang lain; bukan dengan cara yang aku kehendaki. Dia lebih tahu hal yang terbaik buat diri saya.
Sikap semacam ini menghindarkan kita untuk berpikir negatif, pikiran yang justru membuat kita sendiri mengalami kelelahan mental. Sikap loba, terlalu buru-buru ingin melihat hasil dari doa kita, kata Ibn ‘Ajibah (penulis komentar atas Kitab Hikam), bisa membuatmu lelah dan sengsara: wa-la tahris, fa-inna al-hirsa ta’abun wa madzallatun. ولا تحرص فإن الحرص تعب ومذلة .
Pengertian khusus/mistik. Manakala engkau harus meminta kepada Tuhan, maka jadikanlah permintaanmu itu sebagai bagian dari ibadahmu kepadaNya, bukan permintaan sebagai permintaan. Sebab, berdoa dan meminta Tuhan adalah salah satu ekspresi menyembah Sang Pencipta.
Kita meminta kepada Tuhan bukan karena kita menghendaki ada hasil yang akan datang dari sana; kita meminta bukan karena tujuan “utilitarian” itu. Kita meminta karena memang seorang hamba sudah seharusnya mengajukan permintaan (talab).
Syekh Abdul Aziz al-Mahdawi (semoga kerelaan Tuhan tetap atasnya) berkata: Barangsiapa berdoa dan mengatur-atur Tuhan dengan cara apa permintaannya itu harus dipenuhi, doanya mungkin saja dikabulkan. Tetapi doanya dikabulkan sebagai bentuk “pemanjaan” (istidraj) dari Tuhan kepadanya. Tuhan berkata kepada malaikatnya: Kabulkan saja doanya, karena Aku tak suka mendengar permintaannya lagi.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari ajaran Ibn Ataillah ini?
Sederhana: Kerendah-hatian. Janganlah kita mengeluh atau merasa terdampar putus asa karena “kehendak kecil” kita sebagai manusia tidak berjalan seiringan dengan “kehendak besar’ Tuhan. Alam kadang punya logic-nya sendiri. Pengetahuan kita tentang kompleksitas hidup sangat terbatas. Ada hal-hal yang kerap di luar pengetahuan kita.
Saat kenyataan bekerja tidak sesuai dengan keinginan kita, sikap terbaik yang harus kita ambil adalah: Boleh jadi keinginan saya tidak tepat; boleh jadi ada hal yang tak saya ketahui.
Dengan sikap seperti ini, kita tidak menderita keterdamparan dan keputus-asaan. Sikap positif adalah cara hidup yang paling baik. Sehat secara mental, menggembirakan dalam hidup.[]


KESIMPULAN NGAJI HIKAM #6
Ini salah satu bagian dalam kitab Hikam yang sangat saya sukai. Bagian ini mengajarkan kita beberapa hal:
1. Kita harus berbaik sangka kepada Pencipta Hidup. Sebab, pilihan lainnya, jika kita tak mau berbaik sangka, ialah berburuk sangka. Sikap yang terakhir ini, selain tak mengubah keadaan, membuat kita berpikiran negatif, dan akhirnya menjerembabkan kita pada sikap hidup yang secara psikologis tak sehat. Sikap negatif pada hidup membuat kita juga bersikap negatif pada lingkungan sekitar. Sikap negatif pada lingkungan sekitar membuat kehidupan mengalami "polusi". Ujung-ujungnya adalah suasana lingkungan yang serba tegang, uring-uringan, sensitif, tegang. Dengan kata lain: tidak sehat..
Berbaik sangka pada sumber kehidupan membuat kita bisa membangun kehidupan yang sehat, baik pada level personal atau pun sosial.
2. Bagi seorang yang beriman, maksud utama doa bukan agar permintaan kita dikabulkan. Melainkan untuk menunjukkan bahwa kita adalah hamba Tuhan. Berdoa adalah pertanda bahwa kita adalah hamba. Berdoa adalah pertanda bahwa kita menyandarkan diri kita pada otoritas tertinggi dalam hidup, bukan bersikap sombong bahwa "Saya bisa mengatasi keadaan sendiri!"
Dengan kata lain, berdoa adalah pertanda sikap "humility", kerendah-hatian. Orang yang beriman ialah orang yang rendah hati. Jika doa kita tak membawa kita pada sikap rendah hati, maka curigailah doa itu. Jangan-jangan doa kita hanyalah pura-pura belaka. Atau doa yang hanya ditujukan untuk mengharap sebuah hasil. Doa yang utilitarian.
3. Doa yang sungguh-sungguh dan "genuine" adalah doa yang disertai dengan ikhtiar. Doa yang "beneran" adalah yang menambah kita giat bekerja. Doa yang benar-benar doa ialah yang membuat kita memiliki sikap positif dan optimisme dalam hidup, lalu setelah itu kita makin giat bekerja dan mengusahakan yang terbaik dalam kehidupan ini. Doa yang sebenar doa ialah doa yang menginjeksikan semangat hidup, seperti minuman suplemen.
Doa yang membuat kita malas dan tak melakukan sesuatu, sebaliknya menunggu "keajaiban" saja dari "Atas", bukanlah doa yang "beneran".
Sekian Ngaji Hikam seri ke-6. Sampai ketemu besok malam di Ngaji Hikam seri ke-7. Mari kita tutup pengajian ini dengan hamdalah.
Wassalam.

 Sumber : https://www.facebook.com/ulil2015/posts/10153171969732634

Umat Islam, Jenggot dan Humor


Home » Aksara » Humor » Umat Islam, Jenggot dan Humor
Syekh Yasir Birhami, tokoh salafi dari Mesir, pemimpin Partai Al-Nur. (Photo credit: The Cairo Post)
Syekh Yasir Birhami, tokoh salafi dari Mesir, pemimpin Partai Al-Nur. (Photo credit: The Cairo Post)

IslamLib – Kiai Said Siradj, Ketum PBNU yang baru terpilih kembali di Muktamar NU di Jombang itu, adalah penceramah yang hebat. Pidatonya berisi pencerahan untuk umat, dan kaya humor. Setiap mendengarkan pidato Kang Said (demikian dia kerap dipanggil), saya pasti tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi ini bukan hanya gaya khas Kang Said. Semua kiai NU, kalau menyampaikan ceramah, penuh humor dan kelucuan.
Tak heran, di twitter ada akun bernama NU Garis Lucu, untuk menandingi akun lain yang sebenarnya juga lucu, walau namanya agak “angker”, yaitu NU Garis Lurus. Bahwa ada orang menggambarkan NU sebagai ber-garis lurus itu sendiri sudah merupakan kelucuan tersendiri.
Saat ini sedang beredar video yang berisi petikan humor Kang Said. Video ini menyebar di twitter dan media sosial yang lain. Di sejumlah group Whatsapp, video ini menjadi pembicaraan ramai dan, bahkan, panas. Terjadi adu argumen yang cukup menegangkan. Apa isi video itu? Di sana Kang Said bergurau: Biasanya, orang berjenggot itu akalnya berkurang. Makin jenggot memanjang ke bawah, akalnya juga merosot ke bawah.
Humor Kang Said ini tentu ada konteksnya. Saya sudah berkali-kali mendengar Kang Said melontarkan guyonan ini dalam beberapa kesempatan. Bahkan dalam percakapan personal. Setiap mendengar itu, saya selalu tertawa. Biasanya, Kang Said melontarkan guyonan ini untuk menyindir orang-orang Salafi/Wahabi yang gemar mempermasalahkan jenggot. Bagi orang-orang Wahabi, memanjangkan jenggot hukumnya wajib, sebab itu perintah Nabi.
Jenggot bukan sekedar penampakan fisik biasa. Bagi sebagian golongan Islam, memanjangkan jenggot simbol kesalehan. Orang yang memanjangkan jenggot adalah pengikut Nabi Muhammad yang setia. Sebab, konon, Nabi pernah bersabda: Panjangkanlah jenggot, dan cukurlah “berengos” (kumis). A’fu al-liha wa qassu al-sharib!
Dalam hukum Islam dikenal teori tentang perintah (al-amr). (Saya sedang menyiapkan buku khusus mengenai teori perintah dalam Islam ini.) Jika dalam Quran/sunnah terdapat perintah yang disampaikan secara umum (idza uthliqa), tanpa keterangan apapun, itu bermakna suruhan, command. Kita wajib mengikutinya. Muthlaq al-amr yadullu ‘ala al-wujub, demikian teori itu menegaskan. Perintah, secara umum, menunjukkan keharusan.
Dalam hadis yang saya kutip di atas, Nabi menyampaikan perintah: Panjangkanlah jenggot, cukurlah kumis. Sesuai dengan teori hukum tadi, hadis itu berisi keharusan umat Islam untuk memanjangkan jenggot. Ini, tentu saja, bukan keharusan biasa. Melainkan keharusan yang sakral, suci, angker. Yang tidak melaksanakan keharusan ini, dia melanggar perintah agama, menentang Tuhan. Keharusan itu, dalam Islam, disebut wujub atau wajib.
Demikianlah logic atau cara berpikir orang-orang yang berpandangan bahwa jenggot wajib dipanjangkan. Kelompok yang disebut Wahabi –yang dominan di Saudi Arabia itu—adalah satu-satunya golongan dalam Islam yang mempertahankan pandangan ini dengan mati-matian.
Waktu saya masih kuliah di universitas Wahabi dulu, saya kerap membaca risalah kecil-kecil yang berisi propaganda Saudi untuk mengampanyekan jenggot ke seluruh dunia. Bayangkan: Kampanye memanjangkan jenggot!
Bagi orang di luar Islam yang tidak mengenal peta sosiologi umat Islam, tentu perkara jenggot ini tampak lucu dan menggelikan. Ini bukan perkara yang lucu atau sepele. Bagi sebagian kalangan Islam, ini masalah serius, sama seriusnya dengan soal-soal besar duniawi seperti mengatasi kemacetan Jakarta. Kalau malah tak lebih serius. Sebab kemacetan Jakarta sebatas soal profan, duniawi. Soal jenggot adalah soal ukhrawi, sorga-neraka.
Jenggot, dengan demikian, adalah suatu manifesto “politik”. Saat seorang Muslim berjenggot, bisa saja itu semacam ungkapan deklaratif: Saya mengikuti mazhab ini! Jenggot adalah “religious marker”, penanda afiliasi keagamaan. Bukan sekedar “l’apparance corporel.”
Ketika Kang Said melontarkan candaan jenggot itu, sebetulnya dia sedang meledek, menyindir golongan dalam Islam yang punya cara berpikir konservatif, literalistik, harafiah yang dismbolkan dengan jenggot itu. Jadi, ini candaan yang memiliki konteks. Dia tak bisa dipahami jika kita tak mengetahui konteks itu. Pada dasarnya, setiap humor adalah berkonteks. Tanpa konteks, humor sudah pasti kehilangan kelucuan. Bahkan bisa memancing kemarahan.
Ini tidak berarti bahwa setiap jenggot menandakan seseorang ikut golongan ini atau itu; katakan saja, golongan Salafi/Wahabi. Tidak. Ada jenggot yang non-afiliasi. Jenggot nir-ideogi. Jenggotnya Ahmad Dhani, misalnya, tentu tak kait-mengait dengan perdebatan ideologi ini. Sejumlah kiai NU juga memanjangkan jenggot. Meskipun umumnya tidak. Jenggot kiai NU tidak sama dengan “jenggot Wahabi”.
Kasus marahnya sebagian kalangan atas candaan jenggot-nya Kang Said ini menandakan hilangnya rasa humor dari sebagian kalangan Islam. Sosiolog asal Iran, Asef Bayat, pernah berbicara tentang “fun and fundamentalism”. Dia bilang, ciri-ciri kelompok Islam fundamentalis adalah mereka benci humor, apalagi humor agama. Mereka terlalu serius dengan agama. Tak bisa rileks. Mereka “fun-damentalist”. Tetapi mereka tidak “fun”.
Ini beda dengan suasana keagamaan di NU. Di sana, humor adalah menu wajib dalam setiap obrolan di majlis-majlis NU, termasuk obrolan di ruang tamu para masyayikh, kiai-kiai NU. Kalau Anda bertamu ke “ndalem”/rumah Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus, Anda akan mendengar gelak-tawa pecah setiap saat. Gus Mus dikenal sebagai kiai yang suka humor. Dan presidennya orang-orang NU, yaitu Gus Dur, adalah sosok yang jenaka dan penuh humor.
Setiap pidato, Gus Dur kerap membuka dengan kelakar ini: Pertama-tama, marilah kita panjatkan syukur kepada Allah. Lalu Gus Dur diam sebentar. Terus: Sebab syukur tidak bisa memanjat sendiri. Orang-orang lalu tergelak-gelak.
Jadi, masalah candaan jenggot ini bisa kita jadikan sebagai studi kasus yang menarik. Di sini kita bisa melihat dua corak umat Islam di Indonesia. Ada umat yang suka humor. Ada umat Islam yang lain yang kurang suka, atau bahkan benci humor.
Terserah Anda. Mau ikut yang mana. Kalau Anda punya bakat suka tertawa, Anda sudah tahu mana jenis Islam yang harus Anda ikuti.[]

Musa, Isa, Muhammad: Tiga Model Yang Saling Melengkapi


IslamLib – Keuntungan Islam sebagai agama terakhir adalah ia bisa belajar dari agama-agama sebelumnya, seraya memberikan kritik atas hal-hal yang ia anggap kurang tepat pada agama-agama itu. The benefit of being late comer. Tetapi keuntungan ini juga dinikmati Kristen terhadap Yahudi. Karena datang setelah yang terakhir ini, Kristen bisa malakukan kritik atas praktek keyahudian yang ia anggap “melenceng”.
Tetapi kritik mengandaikan satu hal: adanya kesamaan “marja’iyyah”, atau referensi. Islam tidak bisa mengkritik Hindu atau Buddha karena tak ada kesamaan “term of reference”. Tetapi Islam bisa mengkritik Yahudi dan Kristen karena ia memiliki referensi yang kurang lebih sama. Referensi itu ialah tradisi monoteisme Abraham. Ketiga agama itu bersumber pada sosok Ibrahim, nenek moyang dari tiga agama monoteis.
Ya, saya mengatakan bahwa baik Yahudi,  Kristen, atau Islam – ketiganya adalah agama-agama monoteis, tauhid. Hanya saja, monoteisme itu diberikan “bungkus linguistik” atau cara pengungkapan yang berbeda dalam tiga agama tersebut. Sangat menarik jika kita lakukan telaah perbandingan antara model monoteisme/tauhid dalam tiga agama tersebut. Saya akan mencoba menulis secara terpisah tentang tema ini.
Isa/Yesus datang dengan kritik yang radikal atas praktek keyahudian yang kaku, terlalu berorientasi pada hukum, mengabaikan esensi. Kritik Isa/Yesus atas agama Yahudi tampak jelas dalam Khotbah di Bukit. Di sana, kita seperti berjumpa dengan sosok yang mirip-mirip tokoh sufi yang melancarkan kritik atas kekakuan para fuqaha. Isa/Yesus ingin membawa agama kembali kepada sesuatu yang lebih esensial, inti: yaitu cinta kasih. Agama Yahudi telah “merosot” menjadi “agama hukum”. Isa/Yesus membawa corak lain: “agama cinta”.
Muhammad datang belakangan dengan kritik yang tak kalah radikal, terutama terhadap Kristen. Kritik Islam yang paling mendasar ialah koreksi terhadap konsepsi ketuhanan yang sangat rumit, misterius, dan spekulatif dalam Kristen. Sistem teologi Kristen yang sudah mengalami sofistikasi karena proses helenisasi (masuknya pengaruh tradisi filsafat Yunani) ingin dikembalikan oleh Islam kepada kesederhanaan ala Yahudi: Tuhan itu ya satu!
Tetapi sebentar. Formulasi Islam tentang Tuhan yang satu ini menarik, sebagaimana diungkapkan dalam Surah al-Ikhlas: Qul huwa ‘l-Lahu ahad. Kata “ahad” dalam ayat itu kerap diterjemahkan sebagai “satu.” Dengan pengertian ini, makna ayat itu ialah: Katakan Tuhan itu satu.
Tetapi ada pengertian lain tentang kata “ahad”. Ia tidak saja bermakna “satu”. Ahad juga berarti “sesuatu yang unik”, sesuatu yang nirpadan. Dengan pengertian ini, makna ayat tadi menjadi berbeda: Katakan Tuhan itu unik, tanpa padan. Konsepsi ketuhanan Islam ini, menurut saya, jauh lebih sederhana, mudah dipahami oleh orang awam, dan tidak menimbulkan spekulasi yang terlalu canggih di sekitar ide reinkarnasi (konsepsi tentang Yesus sebagai “firman yang mendaging”) sebagaimana dalam Kristen.
Dengan kesederhanaan ini, Muhammad membangun kekuatan sosial untuk melakukan perubahan dalam masyarakat Arab. Ernest Gellner, antropolog asal Inggris itu, pernah menggambarkan Islam sebagai agama yang lebih berorientasi pada aksi, bukan spekulasi teologis. Aksi membutuhkan kesederhanaan gagasan. Inilah yang disediakan oleh Islam melalui konsep tauhid yang sangat simpel: Tuhan itu satu. Titik.
Tetapi, lepas dari rangkaian kritik-mengkritik ini, saya memandang sosok Musa, Isa/Yesus dan Muhammad sebagai tiga model beragama. Ketiganya saling melengkapi. Bahkan saya ingin mengatakan bahwa praktek keagamaan yang sempurna hanya akan terjadi jika kita bisa menggabungkan ketiga model yang dicontohkan oleh tiga nabi ini.
Musa ialah sosok “law maker”, nabi yang membangun keteraturan sosial lewat hukum (Taurat). Sebagaimana pernah saya tulis dalam esei sebelumnya, Musa adalah figur yang tampaknya menjadi role model bagi Muhammad untuk membangun “social order” di jazirah Arab melalui jalan yang kurang lebih sama: yaitu jalan hukum. Meskipun Muhammad menambahkan dimensi lain: yaitu politik. Inilah dimensi yang tak ada baik pada Musa atau Isa/Yesus.
Sementara Isa/Yesus adalah model lain yang juga menarik. Pada tokoh ini, kita berhadapan dengan seorang pengkritik keras model beragama yang kaku dan terlalu berorientasi pada hukum. Alternatif yang diajukan oleh Yesus bukan meninggalkan hukum (syari’ah) sama sekali, melainkan meradikalkan pengertian syariat sehingga tembus ke esensinya.
Kritik Yesus mirip dengan kritik para intelektual Muslim liberal-progresif saat ini atas kecenderungan beragama dalam Islam yang cenderung mendekati model Yahudi: legalistik, kaku, syariah-oriented.
Figur Muhammad memperlihatkan model yang lain lagi. Pada sosok ini kita menemukan kombiniasi tiga hal: kesederhanaan monoteisme ala Yahudi, konsep hukum ala Musa, dan aksi politik. Bagi saya, ini kombinasi yang sangat ideal. Masyarakat Arab membutuhkan ini untuk membangun diri sebagai sebuah bangsa besar yang mirip bangsaYahudi.
Apa yang dicapai Islam jauh melampaui Yahudi: Islam sukses membangun bangsa Arab dari suku-suku yang terserak menjadi kekuatan politik yang solid. Dari sana lahir sebuah kekuasaan politik dengan cakupan wilayah yang sangat luas. Dan ini semua berhasil diwujudkan dalam rentang waktu yang sangat pendek: kurang dari seratus tahun.
Tetapi, kesuksesan Islam ini juga mengandung jebakannya sendiri. Ketika agama menubuhkan diri dalam kekuatan politik besar berupa negara, ia bisa merosot kedudukannya hanya sebatas sebagai “ideologi politik”, bukan lagi kekuatan moral-etis yang membangkitkan gairah relijiusitas. Agama menjadi semacam”alat” saja untuk memastikan “ketundukan” massa terhadap otoritas politik yang dibungkus dengan bahasa agama.
Ketika agama mengalami kemerosotan semacam ini, kita perlu mengingat kembali Isa/Yesus yang mengajarkan agama sebagai sumber cinta kasih, bukan alat politik untuk menyelenggarakan ketertiban sosial. Model Isa/Yesus adalah representasi dari agama sebagai kekuatan moral-etis dan sumber solidaritas bagi mereka yang mengalami penderitaan. Di era modern, model ini kian relevan, karena ketertiban sosial tak lagi membutuhkan “Taurat” Musa, melainkan hukum positif yang lahir di parlemen, bukan di bukit Sinai.
Baik Yahudi, Kristen maupun Islam menyediakan model keagamaan yang unik dan saling melengkapi: Musa yang mengatur melalui hukun, Isa/Yesus yang mengkritik saat hukum terlalu rigid, dan Muhammad yang dengan kesederhanaan konsep monoteismenya, berhasil membangun model keagamaan berbasis aksi sosial yang mengubah masyarakat (transformatif).
Kita butuh social order. Kita butuh cinta kasih yang hangat. Tetapi kita juga butuh praksis sosial yang mengubah tatanan yang tak ideal menjadi lebih ideal. Tiga model keberagamaan yang dicontohkan oleh tiga nabi besar ini bisa kita pandang sebagai rangkaian yang saling melengkapi.
Ketimbang melihat tiga agama ini sebagai kompetitor yang saling bersaing, bahkan bermusuhan, kenapa kita tak memandangnya sebagai serpihan-serpihan mozaik yang hanya akan lengkap dan terlihat indah jika disusun kembali menjadi tapestry, anyaman yang utuh?[]

MENENGOK SEJARAH DESA LEMAHTAMBA - CIREBON


 

Sejarah Singkat Desa Lemahtamba [1]

Oleh : Lili Faridah
Sejarah Lemahtamba juga ada kaitannya dengan sejarah Panguragan, dahulu Lemahtamba bernama Cikujang. Pada waktu itu disebutkan pada sebuah tempat ada sayembara yang memperebutkan seorang putri yang bernama Nyi Mas Gandasari, beliau adalah seorang putri dari Panguragan yang terkenal cantik dan sakti mandraguna sedang mengadakan sayembara. Kemudin ada seorang laki-laki datang menghampiri dan melihat sayembara itu. Laki-laki tersebut bernama Syekh Magelung dia merasa kagum akan kehebatan dari Nyi Mas Gandasari.
Dulunya bernama Padukuhan Cikujang. Gusti Pangeran Suryanegara ingin melihat sayembara pertarungan Nyi Mas Ayu Gandasari yang terjadi sekitar 1400-an M tersebut. Gusti Pangeran Suryanegara datang dengan menaiki kuda putih. Namun, karena kuda itu kelelahan dan sakit, Gusti Pangeran Suryanegara berhenti sejenak sambil berfikir dan melihat situasi sekitar yang masih di kelilingi pesawahan. Beliau bingung hendak meminta minum kepada siapa. Tetapi di sekitar sawah tersebut ada burung Bangau putih yang sedang minum di bawah pohon Gempol.
Lalu Gusti Pangeran Suryanegara mendekati burung Bangau tersebut hendak mencari air. Nah, di bawah pohon Gempol tersebut terdapat sumbuk yuyu atau leng yuyu bule. Gusti Pangeran Suryanegara mengambil air beserta tanahnya juga dari leng yuyu bule tersebut untuk minumkan kepada kudanya yang sedang sakit. Diminumkanlah air beserta tanah tersebut kepada kuda putihnya. Dengan seketika itu, kudanya menjadi sehat dan kuat kembali. Maka ngucaplah Gusti Pangeran Suryanegara, karena air da tanahnya bisa mnyembuhkan penyakit dan sangat baik, maka beliau langsung menyebutnya “Padukuhan ini saya beri nama Lemahtamba”. Karena dikenal dengan Lemah (tanah)-nya yang bisa digunakan untuk obat (Tamba).
Pemerintahan desa Lemahtamba berdiri pada tahun 1816 M yang dipimpin oleh seorang Demang bernama Ki Suro Pringgo. Ini merupakan pemerintah yang resmi diakui oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada waktu dipimpin oleh Ki Suro Pringgo, luas wilayah desa Lemahtamba hampir dua kali lipat dari luas wilayah sekarang. Tetapi karena pemerintah desa pada saat itu kurang memperhatikan wilayah sendiri, sehingga luas wilayah yang ada sampai saat ini adalah 108.977 Ha sudah termasuk tanah pertanian, perumahan warga, pekarangan dan lain-lain.[2]
Pemimpin pada waktu itu bukan dipilih dengan cara demokratis, melainkan siapa orang yang kuat, berani dan berwibawa, dia dapat menjadi pemimpin. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, peran dan aspirasi masyarakat masih sangat diabaikan bagaikan pemerintahan yang absolute. Sehingga kebudayaan yang semacam ini dapat menghambat perkembangan dan pola fikir para generasi penerusnya.
Ciri khas masyarakat pada waktu itu adalah gotong-royong sebagai wujud kebersamaan antar warga. Namun seiring berjalannya waktu dan modernisasi, gotong-royong tersebut mulai punah karena masyarakat makin sibuk dengan rutinitas mereka masing-masing. Kegiatan gotong-royong saat ini hanya mengandalkan instruksi dari aparat desa saja. Karena sudah sedikit masyarakat yang memiliki kesadaran untuk hanya sekedar membersihkan saluran air di selokan, membersihkan sampah di lingkungan atau kegiatan-kegiatan lainnya.
Adapun urutan Kepala Desa Lemahtamba adalah sebagai berikut : [3]
  1. Ki Suropringgo
  2. Ki Kaiten (H. Abdul Gani)
  3. Ki Kadi (H. Abdul Syukur)
  4. Bapak Misran (H.Asy’ari)
  5. Bapak Bunaim
  6. Bapak Muhammad Musa
  7. Bapak H. Munali (H.Anwar Sanusi tahun 1967-1995)
  8. Bapak Abdullatif (1996-2003)
  9. Bapak H. Akhsin Khanafi (2003-2013)
  10. Kusnan Agustian (2013 s/d sekarang)

Tentang Keadaan Sosial Warga Desa Lemahtamba
Desa yang memiliki luas 108.977 Ha ini, memiliki 4 Blok, 16 Rukun Tetangga dan 8 Rukun Warga yang terdiri dari:
  • Blok 1 terdiri dari RT 01,02, 03, 04 dan RW 01, 02
  • Blok 2 terdiri dari RT 05, 06, 07, 08 dan RW 03, 04
  • Blok 3 terdiri dari RT 09, 10, 11, 12 dan RW 05, 06
  • Blok 4 terdiri dari RT 13,14,15, 16 dan RW 07, 08
Dari pusat kota Cirebon ± 25 km melalui jalan Cirebon-Bandung atau jalan Cirebon-Indramayu atau Cirebon-Jakarta. Dari arah barat ± 8 km dari Kecamatan Arjawinangun yaitu dari jalan Cirebon-Jakarta menuju ke arah timur. Dari arah selatan ± 13 km dari Jamblang atau Plered yaitu dari jalan raya Cirebon-Bandung menuju ke arah utara. Sedangkan dari arah timur ± 5 km dari desa Suranenggala atau dari pasar Celancang ± 10 km yaitu dari jalan Cirebon-Indramayu menuju ke arah barat, dengan batasan wilayah sebagai berikut :
  1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kroya-Karanganyar
  2. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Panguragan Wetan
  3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pagertoya-Suranenggala Kidul
  4. Sebelah timur berbatasan dengan Blok Lamaran-Desa Suranenggala Kidul

Referensi :
[1]Berdasarkan wawancara dengan H. Dedi Miskadi Juru Kuncen Desa Lemahtamba. Pada hari Rabu, 29 Agustus 2013 pukul 18.35 wib.
[2] Pernyataan ini diambil dari buku kecil karya Drs.H. To’at Aziz yang diberi judul Riwayat Sumur Karomat Rama Buyut Lemahtamba Gusti Pangeran Surya Negara.
[3] Berdasarkan keterangan dari Bapak Arju (87 tahun), Sesepuh Desa Lemahtamba. Wawancara pada hari Sabtu, 20 Juli 2013 di rumah beliau.

HYMNE INSTITUT STUDI ISLAM FAHMINA (ISIF) CIREBON 240p

RONGGENG BUGIS MAHASISWA ISIF CIREBON