IslamLib – Keuntungan Islam sebagai agama terakhir
adalah ia bisa belajar dari agama-agama sebelumnya, seraya memberikan
kritik atas hal-hal yang ia anggap kurang tepat pada agama-agama itu. The benefit of being late comer.
Tetapi keuntungan ini juga dinikmati Kristen terhadap Yahudi. Karena
datang setelah yang terakhir ini, Kristen bisa malakukan kritik atas
praktek keyahudian yang ia anggap “melenceng”.
Tetapi kritik mengandaikan satu hal: adanya kesamaan “marja’iyyah”, atau referensi. Islam tidak bisa mengkritik Hindu atau Buddha karena tak ada kesamaan “term of reference”.
Tetapi Islam bisa mengkritik Yahudi dan Kristen karena ia memiliki
referensi yang kurang lebih sama. Referensi itu ialah tradisi monoteisme
Abraham. Ketiga agama itu bersumber pada sosok Ibrahim, nenek moyang
dari tiga agama monoteis.
Ya, saya mengatakan bahwa baik Yahudi, Kristen, atau Islam – ketiganya adalah agama-agama monoteis, tauhid.
Hanya saja, monoteisme itu diberikan “bungkus linguistik” atau cara
pengungkapan yang berbeda dalam tiga agama tersebut. Sangat menarik jika
kita lakukan telaah perbandingan antara model monoteisme/tauhid dalam
tiga agama tersebut. Saya akan mencoba menulis secara terpisah tentang
tema ini.
Isa/Yesus datang dengan kritik yang radikal atas praktek keyahudian
yang kaku, terlalu berorientasi pada hukum, mengabaikan esensi. Kritik
Isa/Yesus atas agama Yahudi tampak jelas dalam Khotbah di Bukit. Di
sana, kita seperti berjumpa dengan sosok yang mirip-mirip tokoh sufi
yang melancarkan kritik atas kekakuan para fuqaha. Isa/Yesus
ingin membawa agama kembali kepada sesuatu yang lebih esensial, inti:
yaitu cinta kasih. Agama Yahudi telah “merosot” menjadi “agama hukum”.
Isa/Yesus membawa corak lain: “agama cinta”.
Muhammad datang belakangan dengan kritik yang tak kalah radikal,
terutama terhadap Kristen. Kritik Islam yang paling mendasar ialah
koreksi terhadap konsepsi ketuhanan yang sangat rumit, misterius, dan
spekulatif dalam Kristen. Sistem teologi Kristen yang sudah mengalami
sofistikasi karena proses helenisasi (masuknya pengaruh tradisi filsafat
Yunani) ingin dikembalikan oleh Islam kepada kesederhanaan ala Yahudi: Tuhan itu ya satu!
Tetapi sebentar. Formulasi Islam tentang Tuhan yang satu ini menarik, sebagaimana diungkapkan dalam Surah al-Ikhlas: Qul huwa ‘l-Lahu ahad.
Kata “ahad” dalam ayat itu kerap diterjemahkan sebagai “satu.” Dengan
pengertian ini, makna ayat itu ialah: Katakan Tuhan itu satu.
Tetapi ada pengertian lain tentang kata “ahad”. Ia tidak saja bermakna “satu”. Ahad
juga berarti “sesuatu yang unik”, sesuatu yang nirpadan. Dengan
pengertian ini, makna ayat tadi menjadi berbeda: Katakan Tuhan itu unik,
tanpa padan. Konsepsi ketuhanan Islam ini, menurut saya, jauh lebih
sederhana, mudah dipahami oleh orang awam, dan tidak menimbulkan
spekulasi yang terlalu canggih di sekitar ide reinkarnasi (konsepsi tentang Yesus sebagai “firman yang mendaging”) sebagaimana dalam Kristen.
Dengan kesederhanaan ini, Muhammad membangun kekuatan sosial untuk
melakukan perubahan dalam masyarakat Arab. Ernest Gellner, antropolog
asal Inggris itu, pernah menggambarkan Islam sebagai agama yang lebih
berorientasi pada aksi, bukan spekulasi teologis. Aksi membutuhkan
kesederhanaan gagasan. Inilah yang disediakan oleh Islam melalui konsep
tauhid yang sangat simpel: Tuhan itu satu. Titik.
Tetapi, lepas dari rangkaian kritik-mengkritik ini, saya memandang
sosok Musa, Isa/Yesus dan Muhammad sebagai tiga model beragama.
Ketiganya saling melengkapi. Bahkan saya ingin mengatakan bahwa praktek
keagamaan yang sempurna hanya akan terjadi jika kita bisa menggabungkan
ketiga model yang dicontohkan oleh tiga nabi ini.
Musa ialah sosok “law maker”, nabi yang membangun
keteraturan sosial lewat hukum (Taurat). Sebagaimana pernah saya tulis
dalam esei sebelumnya, Musa adalah figur yang tampaknya menjadi role model bagi Muhammad untuk membangun “social order”
di jazirah Arab melalui jalan yang kurang lebih sama: yaitu jalan
hukum. Meskipun Muhammad menambahkan dimensi lain: yaitu politik. Inilah
dimensi yang tak ada baik pada Musa atau Isa/Yesus.
Sementara Isa/Yesus adalah model lain yang juga menarik. Pada tokoh
ini, kita berhadapan dengan seorang pengkritik keras model beragama yang
kaku dan terlalu berorientasi pada hukum. Alternatif yang diajukan oleh
Yesus bukan meninggalkan hukum (syari’ah) sama sekali, melainkan meradikalkan pengertian syariat sehingga tembus ke esensinya.
Kritik Yesus mirip dengan kritik para intelektual Muslim
liberal-progresif saat ini atas kecenderungan beragama dalam Islam yang
cenderung mendekati model Yahudi: legalistik, kaku, syariah-oriented.
Figur Muhammad memperlihatkan model yang lain lagi. Pada sosok ini kita menemukan kombiniasi tiga hal: kesederhanaan monoteisme ala
Yahudi, konsep hukum ala Musa, dan aksi politik. Bagi saya, ini
kombinasi yang sangat ideal. Masyarakat Arab membutuhkan ini untuk
membangun diri sebagai sebuah bangsa besar yang mirip bangsaYahudi.
Apa yang dicapai Islam jauh melampaui Yahudi: Islam sukses membangun
bangsa Arab dari suku-suku yang terserak menjadi kekuatan politik yang
solid. Dari sana lahir sebuah kekuasaan politik dengan cakupan wilayah
yang sangat luas. Dan ini semua berhasil diwujudkan dalam rentang waktu
yang sangat pendek: kurang dari seratus tahun.
Tetapi, kesuksesan Islam ini juga mengandung jebakannya sendiri.
Ketika agama menubuhkan diri dalam kekuatan politik besar berupa negara,
ia bisa merosot kedudukannya hanya sebatas sebagai “ideologi politik”,
bukan lagi kekuatan moral-etis yang membangkitkan gairah relijiusitas.
Agama menjadi semacam”alat” saja untuk memastikan “ketundukan” massa
terhadap otoritas politik yang dibungkus dengan bahasa agama.
Ketika agama mengalami kemerosotan semacam ini, kita perlu mengingat
kembali Isa/Yesus yang mengajarkan agama sebagai sumber cinta kasih,
bukan alat politik untuk menyelenggarakan ketertiban sosial. Model
Isa/Yesus adalah representasi dari agama sebagai kekuatan moral-etis dan
sumber solidaritas bagi mereka yang mengalami penderitaan. Di era
modern, model ini kian relevan, karena ketertiban sosial tak lagi
membutuhkan “Taurat” Musa, melainkan hukum positif yang lahir di
parlemen, bukan di bukit Sinai.
Baik Yahudi, Kristen maupun Islam menyediakan model keagamaan yang
unik dan saling melengkapi: Musa yang mengatur melalui hukun, Isa/Yesus
yang mengkritik saat hukum terlalu rigid, dan Muhammad yang
dengan kesederhanaan konsep monoteismenya, berhasil membangun model
keagamaan berbasis aksi sosial yang mengubah masyarakat (transformatif).
Kita butuh social order. Kita butuh cinta kasih yang hangat.
Tetapi kita juga butuh praksis sosial yang mengubah tatanan yang tak
ideal menjadi lebih ideal. Tiga model keberagamaan yang dicontohkan oleh
tiga nabi besar ini bisa kita pandang sebagai rangkaian yang saling
melengkapi.
Ketimbang melihat tiga agama ini sebagai kompetitor yang saling
bersaing, bahkan bermusuhan, kenapa kita tak memandangnya sebagai
serpihan-serpihan mozaik yang hanya akan lengkap dan terlihat indah jika
disusun kembali menjadi tapestry, anyaman yang utuh?[]
No comments:
Post a Comment